Bosan dan bosan,itu
yang aku rasakan ditempat ini. Ya menunggu. Menunggu adalah hal yang paling membosankan
yangpernah aku lakukan dalam hidupku, tapi sepertinya aku sudah terbiasa dengan
kondisi ini. Kupandangi tiket
bus dengan harga tiga ribu yang kubeli tadi, tertera namaku disana, Faqih
Maulana.
Satu jam sudah aku menunggu diruangan kotak
berukuran 2x3 yang lebih mirip kandang ini. Ditemani 2 orang petugas penjaga
halte yang mulai kebingungan, gerangan apa bus yang seharusnya datang pukul 2.15
mendadak molor hampir satu jam.
Dan setiap kali aku mengeluh kepada petugas
tentang kondisi ini, salah satu dari merekamemintaku untuk tetap bersabar.Tanpa
memberikan sebuah alasan yang jelas perihal keterlambatan ini. Walaupun aku
tahu sebenarnya mereka juga tidak enak dengan ku karena menunggu terlalu lama.
Namun mereka tak
menampakannya, dan mencoba untuk tetap tenang.
Sejenak kubenarkan
posisi dudukuyang mulai merosot karna kebosanan.Kuangkat tubuhku sedikit keatas
bertumpu pada kedua tangan ku, lalu duduk tegak bersandar kedinding kaca.
Sesekali menghela nafas, sambil melirik jam dinding yang menempel ditembok
halte. Ku lihat waktu sudah menunjukan
pukul 3 tepat.
“Hah, lama benar”
kataku dalam hati.
Entah berapa kali
sudah aku berganti posisi duduk di kursi ini. Kekanan, kekiri, lalu berdiri, melongok-longok
keluar, berjalan kesana kemari. Tak sabar menanti kedatangan bus yang memuakan
itu.
Ditengah kobosanan
yang aku rasakan, tiba-tiba terdengar HP ku berdering. Tanda ada sebuah panggilan
masuk. Entah dari siapa.
Getarannya di saku
celana sebelah kanan ku, membuat ku tak tahan untuk segera mengeluarkannya dan menjawab
panggilan itu.
Kulihat nomor pribadi disana,.
“Halo?”. Ucapku dengan nada pelan.
“Siapaya..halo?”. Tak merespon.
“Halo? “ucapkulagi, sesekali melihat ke HP.
“Halo? Siapasih?” Tak ada jawaban apapun disana.
Berkali-kali
aku mengatakannya namun tak ada jawaban apapun, yang kudengar hanyalah suara desis
mirip radio ditengah malam yang sudah habis jam siarannya, persis.Aku yang
memakai kaos kuning dan celana jeans biru panjang,seakan jadi sorotan orang yang sudah
mulai memenuhi halte ini. Tingkahku yang kebingungan dengan panggilan tak bertuan
ini semakin membuatku penasaran. Siapakah orang iseng yang mencoba menguji kesabaran
ku,atau malah menerorku? Benar-benar kurang kerjaan.
Segera saja kutekan
tombol merah bergambar gagang telepon itu. Pertanda aku mengakhirinya, dan
kumasukan kembali kesaku celanaku.
“Bikin emosi saja”,menggelengkan
kepala sambil mengelap kacamataku yang mulai berdebu ini.
Kupakai lagi
kacamataku. Kulihat ada sebuah kotak disana, diatasnya tertulis sebuah merek
koran. Lalu aku berdiri dan berjalan menghampirinya.
“Permisi mbak, saya
mau ambil koran dibelakang mbak “. Pintaku pada seorang perempuan berseragam
SMA itu.
Koran baru yang
masih tercium bau seperti buku yang baru keluar dari pabrik. Lumayan sembari
aku menunggu bus itu tiba, pikirku. Namun tak ada artikel menarik disana. Yang
ada hanya berita seputar korupsi yang tak ada habisnya itu. Kubolak-balik
halaman demi halaman, mencoba mencari sesuatu yang menarik. Hingga kutemukan
sebuah cerpen lucu, sampai-sampai aku terlarut kedalam ceritanya.
Selang beberapa
waktu, ketika aku sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dikoran itu, HP ku kembali
berdering.
“Siapa lagi, sih”
kataku protes.
Ku ambil kembali HP
yang berdering itu dari saku celana ku. Lagi-lagi nomor pribadi yang memanggil.
Tanpa pikir panjang,
segera saja kumatikan. Lalu kulanjutkan kembali bacaanku yang tertunda tadi. Namun
dering telepon ini tetap saja berbunyi. Tak mau berhenti.
Heran. Dering telepon ini tak mau diam, padahal tombol merah bergambar telepon itu sudah aku tekan berkali-kali
dengan jempol ku.
Jengkel, begitu yang aku rasakan, ku tekan tombol tolak berkali-kali
secepat orang yang sedang bertasbih, namun tak sengaja aku menekan tombol jawab disebelah
kirinya. Dan dering telepon itu berhenti pertanda aku menerimanya.
Kutempelkan HP itu ditelangku, dengan nada emosi akuucapkan.
“haloooooo
!”teriaku menggerutu.
“Blaaaaaaar”
Telepon itu meledak, menyebabkan denging suara yang memekakan
ditelinga kanan ku ini. Ku pegang telingaku, kurasakan sesuatu mengalir
melewati pipi kanan ku ini. Ku usap dengan telapak tangan, kemudian kulihat ada
darah segar disana. Oh,mata ku mulai berkunang-kunang.
Aku terdiam sejenak.Kepalaku pening tak karuan ditambah
bunyi dengung ditelingaku yang semakin memperparah keadaan ini. Penglihatanku
mulai kabur, sepertinya aku akan pingsan. Dari pandanganku yang tak jelas ini
kulihat orang-orang mulai datang mengelilingi ku.
Ku pikir ada seseorangberlutut
didepanku. Ya, tidak salah lagi. Seorang wanita. Dari matanya aku tahu bahwa ia
mengkhawatirkan keadaan ku. Aku tak kenal dia, parasnya cantik terbungkus hijab
yang syar’i. Penuh cemas menatap ke arahku.
Ia mengatakan sesuatau, tapi aku tak mendengarnya. Dari
gerakan bibirnya aku tahu ia mengatakan
“Mas, mas, bisa dengar saya? Mas ? ”
. Hembusan nafasnya menerpa wajahku setiap kata demi kata
yang ia ucapkan. Tatapannya teduh, seteduh awan tertembus sinar matahari di
langit yang kebiruan-biruan. Aku tak
menjawab, hanya bisa diam . Terpaku, terpesona seperti baru melihat bidadari
yang turun dari kayangan. Darahku
bergejolak, jantungku berdebar-debar. Ku rasa ini lah cinta pada pandangan
pertama.
“Tin tin tin”
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dari arah sebelah
kanan halte, ku lihat bus yang ku nanti-nanti itu tiba. Pertanda pendengaranku sudah kembali pulih.
“Astaghfirullah, nyebut qih “ kataku dalam hati.
Ku tundukan kepala
yang sedari tadi memandang wajah wanita itu. Ya, Zina hati.
“Astagfirullah
hal’adzim”.
Kemudian datang seorang laki-laki berbadan tegap kearah
ku. Suaminya kupikir, aku berkhusnudzon saja. Kulihat sebotol air ditangan
kanannya, untukku mungkin. Kebetulan aku juga sudah sangat haus sejak tadi .
Dibukalah tutup botol air mineral itu dengan tangan
kirinya. Aneh, ia tak menyodorkan botol itu kearah ku. Ia justru menuangkannya
keatas kepala ku. Ya , menyiram begitu saja . Sontak aku berdiri hendak menahan
tangannya. Namun air terlanjur tumpah membasahi rambut ku. Seketika itu pulaaku
terbangun dari tidurku.
“Sial mimpi” kataku. Mimpi yang konyol, namun juga indah .
Ketengok keatas, ternyata atap ku bocor sehingga air hujan jatuh tanpa terhalang. Tepat di kepalaku.
Nafasku masih memburu tak karuan, dadaku kembang kempis
seperti orang yang baru berlari keliling alun-alun dengan gaya sprint. Dan
kulihat telepon ku menari-nari dengan nyanyian dan getarannya, seolah meneriakiku untuk segera bangun.
Gemuruh petir seakan bersaut-sautan dilangit, mengeluarkan bunyi ledakan yang
sama persis seperti yang ku dengar di mimpi ku tadi, pertanda sebentar lagi
akan turun hujan.
“Ahh, ternyata ini penyebabnya”. Kataku dalam hati sambil menyeka pipi yang juga bayah
kuyup terkena air liurku. Darah kupikir. Aku tertawa keheranan.
0 komentar:
Posting Komentar