00.10
       Bosan dan bosan,itu yang aku rasakan ditempat ini. Ya menunggu. Menunggu adalah hal yang paling membosankan yangpernah aku lakukan dalam hidupku, tapi sepertinya aku sudah terbiasa dengan kondisi ini. Kupandangi tiket bus dengan harga tiga ribu yang kubeli tadi, tertera namaku disana, Faqih Maulana.
        Satu jam sudah aku menunggu diruangan kotak berukuran 2x3 yang lebih mirip kandang ini. Ditemani 2 orang petugas penjaga halte yang mulai kebingungan, gerangan apa bus yang seharusnya datang pukul 2.15 mendadak molor hampir satu jam.
        Dan setiap kali aku mengeluh kepada petugas tentang kondisi ini, salah satu dari merekamemintaku untuk tetap bersabar.Tanpa memberikan sebuah alasan yang jelas perihal keterlambatan ini. Walaupun aku tahu sebenarnya mereka juga tidak enak dengan ku karena menunggu terlalu lama.
Namun mereka tak menampakannya, dan mencoba untuk tetap tenang.
Sejenak kubenarkan posisi dudukuyang mulai merosot karna kebosanan.Kuangkat tubuhku sedikit keatas bertumpu pada kedua tangan ku, lalu duduk tegak bersandar kedinding kaca. Sesekali menghela nafas, sambil melirik jam dinding yang menempel ditembok halte. Ku lihat waktu sudah  menunjukan pukul 3 tepat.
“Hah, lama benar” kataku dalam hati.
         Entah berapa kali sudah aku berganti posisi duduk di kursi ini. Kekanan, kekiri, lalu berdiri, melongok-longok keluar, berjalan kesana kemari. Tak sabar menanti kedatangan bus yang memuakan itu.
Ditengah kobosanan yang aku rasakan, tiba-tiba terdengar HP ku berdering. Tanda ada sebuah panggilan masuk. Entah dari siapa.
        Getarannya di saku celana sebelah kanan ku, membuat ku tak tahan untuk segera mengeluarkannya dan menjawab panggilan itu.
Kulihat nomor pribadi disana,.
“Halo?”. Ucapku dengan nada pelan.
Siapaya..halo?”.  Tak merespon.
 “Halo? “ucapkulagi, sesekali melihat ke HP.
 “Halo? Siapasih?” Tak ada jawaban apapun disana.
       Berkali-kali aku mengatakannya namun tak ada jawaban apapun, yang kudengar hanyalah suara desis mirip radio ditengah malam yang sudah habis jam siarannya, persis.Aku yang memakai kaos kuning dan celana jeans biru panjang,seakan jadi sorotan orang yang sudah mulai memenuhi halte ini. Tingkahku yang kebingungan dengan panggilan tak bertuan ini semakin membuatku penasaran. Siapakah orang iseng yang mencoba menguji kesabaran ku,atau malah menerorku? Benar-benar kurang kerjaan.
Segera saja kutekan tombol merah bergambar gagang telepon itu. Pertanda aku mengakhirinya, dan kumasukan kembali kesaku celanaku.
“Bikin emosi saja”,menggelengkan kepala sambil mengelap kacamataku yang mulai berdebu ini.
Kupakai lagi kacamataku. Kulihat ada sebuah kotak disana, diatasnya tertulis sebuah merek koran. Lalu aku berdiri dan berjalan menghampirinya.
“Permisi mbak, saya mau ambil koran dibelakang mbak “. Pintaku pada seorang perempuan berseragam SMA itu.
      Koran baru yang masih tercium bau seperti buku yang baru keluar dari pabrik. Lumayan sembari aku menunggu bus itu tiba, pikirku. Namun tak ada artikel menarik disana. Yang ada hanya berita seputar korupsi yang tak ada habisnya itu. Kubolak-balik halaman demi halaman, mencoba mencari sesuatu yang menarik. Hingga kutemukan sebuah cerpen lucu, sampai-sampai aku terlarut kedalam ceritanya.
Selang beberapa waktu, ketika aku sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dikoran itu, HP ku kembali berdering.
“Siapa lagi, sih” kataku protes.
Ku ambil kembali HP yang berdering itu dari saku celana ku. Lagi-lagi nomor pribadi yang memanggil.
Tanpa pikir panjang, segera saja kumatikan. Lalu kulanjutkan kembali bacaanku yang tertunda tadi. Namun dering telepon ini tetap saja berbunyi. Tak mau berhenti.
Heran. Dering telepon ini tak mau diam, padahal tombol merah bergambar telepon itu sudah aku tekan berkali-kali dengan jempol ku.
Jengkel, begitu yang aku rasakan, ku tekan tombol tolak berkali-kali secepat orang yang sedang bertasbih, namun  tak sengaja aku menekan tombol jawab disebelah kirinya. Dan dering telepon itu berhenti pertanda aku menerimanya.
Kutempelkan HP itu ditelangku, dengan nada emosi akuucapkan.
 “haloooooo !”teriaku menggerutu.
“Blaaaaaaar”
Telepon itu meledak, menyebabkan denging suara yang memekakan ditelinga kanan ku ini. Ku pegang telingaku, kurasakan sesuatu mengalir melewati pipi kanan ku ini. Ku usap dengan telapak tangan, kemudian kulihat ada darah segar disana. Oh,mata ku  mulai berkunang-kunang.
Aku terdiam sejenak.Kepalaku pening tak karuan ditambah bunyi dengung ditelingaku yang semakin memperparah keadaan ini. Penglihatanku mulai kabur, sepertinya aku akan pingsan. Dari pandanganku yang tak jelas ini kulihat orang-orang mulai datang mengelilingi ku.
 Ku pikir ada seseorangberlutut didepanku. Ya, tidak salah lagi. Seorang wanita. Dari matanya aku tahu bahwa ia mengkhawatirkan keadaan ku. Aku tak kenal dia, parasnya cantik terbungkus hijab yang syar’i. Penuh cemas menatap ke arahku.
Ia mengatakan sesuatau, tapi aku tak mendengarnya. Dari gerakan bibirnya aku tahu ia mengatakan
“Mas, mas, bisa dengar saya?  Mas ? ”
. Hembusan nafasnya menerpa wajahku setiap kata demi kata yang ia ucapkan. Tatapannya teduh, seteduh awan tertembus sinar matahari di langit yang kebiruan-biruan.  Aku tak menjawab, hanya bisa diam . Terpaku, terpesona seperti baru melihat bidadari yang turun dari kayangan.  Darahku bergejolak, jantungku berdebar-debar. Ku rasa ini lah cinta pada pandangan pertama.
“Tin tin tin”
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dari arah sebelah kanan halte, ku lihat bus yang ku nanti-nanti itu tiba.  Pertanda pendengaranku sudah kembali pulih.

“Astaghfirullah, nyebut qih “ kataku dalam hati.
 Ku tundukan kepala yang sedari tadi memandang wajah wanita itu. Ya, Zina hati.
 “Astagfirullah hal’adzim”.
Kemudian datang seorang laki-laki berbadan tegap kearah ku. Suaminya kupikir, aku berkhusnudzon saja. Kulihat sebotol air ditangan kanannya, untukku mungkin. Kebetulan aku juga sudah sangat haus sejak tadi .
Dibukalah tutup botol air mineral itu dengan tangan kirinya. Aneh, ia tak menyodorkan botol itu kearah ku. Ia justru menuangkannya keatas kepala ku. Ya , menyiram begitu saja . Sontak aku berdiri hendak menahan tangannya. Namun air terlanjur tumpah  membasahi rambut ku. Seketika itu pulaaku terbangun dari tidurku.
“Sial mimpi” kataku. Mimpi yang konyol, namun juga indah .
Ketengok keatas, ternyata atap ku bocor  sehingga air hujan jatuh tanpa terhalang. Tepat di kepalaku.
Nafasku masih memburu tak karuan, dadaku kembang kempis seperti orang yang baru berlari keliling alun-alun dengan gaya sprint. Dan kulihat telepon ku menari-nari dengan nyanyian dan getarannya, seolah meneriakiku untuk segera bangun. Gemuruh petir seakan bersaut-sautan dilangit, mengeluarkan bunyi ledakan yang sama persis seperti yang ku dengar di mimpi ku tadi, pertanda sebentar lagi akan turun hujan.
“Ahh, ternyata ini penyebabnya”. Kataku dalam hati sambil menyeka pipi yang juga bayah kuyup terkena air liurku. Darah kupikir. Aku tertawa keheranan.

0 komentar:

Posting Komentar