23.59
                               
Bulan Desember, musim penghujan sedang berlangsung di Indonesia. Dari jendela kamar, tampak begitu jelas bahwa setelah ini hujan lebat akan mengguyur kotaku. Awan mendung pekat yang sedari tadi semakin besar dan lebar hingga mampu menghalangi mentari, membuat kota ini gelap. Sang mendung yang semakin besar dan gelap itu tampak tak kuasa lagi menahan banyaknya air. Seolah-olah sebentar lagi ia akan meledak. “Jedeeerr” bener saja ia meledak, ledakan itu disertai kilatan halilintar yang seakan-akan memotret bumi dari langit. Memuntahkan berliter-liter air kebumi, jatuh dan terbang berselancar angin. Jutaan , milyaran bahkan triliunan rintik air meluncur ke bumi. Menyapu pepohonan, gedung-gedung sekolah, jalan raya sampai atap rumahku, dan curangnya mereka keroyokan !
Aku menjentikan jari, mungukur besarnya air dari suaranya yang jatuh menimpa atap rumah. “ Segini ” dalam hati. Rahmat Illahi yang tercurah kebumi ini membuatku terkesima menimati suasana. Dari jendela kaca dalam kamarku aku bisa melihat semua benda diluar basah kuyup.  Jalan, halaman, rumput, bahkan sendal Eni sepupuku pun tak lagi basah, malah hanyut dibuatnya karena hujan yang begitu deras, kasihan. Tapi aku tak mau mengambilkannya.
Air yang jatuh bersamaan, menimbulkan bunyi yang khas, mirip dengan suara alat musik tamborine yang ada di studio musik sekolahku. Walapun aku tak memiliki alat itu, tapi aku punya imitasinya, kaleng Yakult yang disi beras. Yah. “Srik, srik, srik” .
“Ahh kawe 15 mungkin”.
Suasana rileks akibat gemericik air dan hawa dingin mampu membius semua orang hingga terlelap. Terlebih lagi Ida adiku, jangankan musim penghujan, menghirup bau bantal saja sudah terbius dia.
Namun dibalik jendela kaca ini ditemani hujan syahdu, lamunan ku terbang kemasa sekolah dasar dulu. Dan disinilah kisah ku dimulai.
-#*#-
Saat itu sedang hujan juga, sayang aku tak membawa payung jadi terpaksa aku harus menunggunya reda di teras depan kelasku. Hingga suatu ketika saat tak ada aktifitas dalam penantian reda itu selain menengadahkan tangan menangkap air dari atap teras, aku mendengar suara. Ya nyanyian jawa yang merdu sekali dari kelas dibelakang ku. Aku mendekat lalu berusaha mengintip dari jendela, tapi karna aku pendek jadi aku tak dapat melihatnya. Dengan kesusahan aku berjinjit, melongok mencari tahu siapakah gerangan wahai pemilik suara yang merdu. Andai pintu kelas itu terbuka tentu aku dengan cepat mengetahui siapa dia. Tak perlulah aku begini.
            Belum sempat aku tahu, dari kejauhan terlihat kakaku datang menjemputku dengan membawa payung. “Mungkin besok aku bisa mencari tahu lagi disini”. Kataku dalam hati. Ya, mengintip !
Saat itu aku duduk dibangku sekolah dasar kelas III. Jika kau tahu sekolahku itu sangat nyaman untuk belajar. Letaknya yang nyaris ditengah sawah membuatnya damai dan sepi. Ditambah lagi dibelakang sekolahku terdapat hutan kecil tempat burung-burung Prenjak bersarang. Belajar disini sangat tenang, jika pagi hari burung-burung prenjak itu berkicau, menemani kami mendengarkan kicauan guru kami juga. Eh?
Esok harinya, setelah bel sekolah berbunyi aku kembali ke kelas itu. Mencari tahu lagi siapa dia dan apa yang mereka rencanakan. Kali ini aku tak mengintip dari jendela, aku melihatnya dari pintu yang sedikit terbuka. Perlahan-lahan dan mengendap-endap. Mirip maling!
Sialnya, tak sengaja pintu itu terdorong saat aku menggaruk pantatku. Dan “ Teguh, sini masuk “. Kata seorang perempuan yang aku tahu dia adalah guruku, Bu Sudarni. Kami biasa memanggilnya bu Darni. Dia tersenyum.  Duduk juga disana Dhendy dan Yola dengan beberapa lembar kertas ditangannya. Tertulis dipapan hitam dengan kapur sebuah tulisan “Macapat” . Dan semua rasa penasaran ini terjawab sudah. Bahwa suara itu adalah suara Bu Darni, dan lagu yang ia nyanyikan adalah tembang macapat, yang belum pernah aku tahu sebelumnya. Tapi apa yang dilakukan Dhendy dan Yola disini ? aku tak tahu
            Kaget, malu dan shock semuanya bercampur menjadi satu, aku hanya bisa senyam-senyum sambil menggaruk-garuk pantal ku yang gatal. Dengan terpaksa aku masuk kekelas itu.
“Teguh, sekolah kita akan mengikuti lomba macapat dan selama beberapa hari ini kita latihan disiini. Hari ini silahkan kamu dengarkan dan pelajari apa yang Ibu dan teman-temanmu nyanyikan, ibu dengar suaramu bagus”
            Mereka melanjutkan latihannya, lagu yang mereka bawakan adalah tembang Dhandhanggula, Sinom dan Pocung. Terasa asing sekali, karena memang bru pertama kali mendengarnya. Sesekali mulutku mencoba mengikuti irama dan syair tembang itu, namun lagi-lagi aku salah.
            Dua jam sudah, aku duduk disana tak jua aku bisa tembang-tembang asing itu. Dan pukul 3 tepat latihan selesai. Namun ada satu hal yang aku tahu, bahwa ternyata Dhendy tak cukup mampu menguasai nada-nada tembang itu. Banyak sekali nada fals yang ia nyanyikan.
“Gimana Guh, macapatnya ,? Dhendy mengawali.
“Susah Dhen,” keluhku
“Memang banyak cengkok-cengko jawa yang harus kamu kuasai, dan disitu letak ciri khas dari tembang macapat ini” Yola menimpali.
            Kami berpisah didepan gerbang pintu sekolah, Yola bersama Bu Darni ibunya sendiri . Menyisakan aku dan Dhendy yang memang kebetulan searah. Sore itu benar-benar indah aku seperti menemukan dunia ku.
Dhendy memboncengku dibelakang, aku berdiri dan ku rengggangkan tanganku horizontal. Hempasan angin ini benar-benar syahdu, se-syahdu rintik hujan yang juga turun sore ini.

0 komentar:

Posting Komentar