Bulan Desember, musim penghujan sedang
berlangsung di Indonesia. Dari jendela kamar, tampak begitu jelas bahwa setelah
ini hujan lebat akan mengguyur kotaku. Awan mendung pekat yang sedari tadi semakin
besar dan lebar hingga mampu menghalangi mentari, membuat kota ini gelap. Sang mendung
yang semakin besar dan gelap itu tampak tak kuasa lagi menahan banyaknya air.
Seolah-olah sebentar lagi ia akan meledak. “Jedeeerr” bener saja ia meledak,
ledakan itu disertai kilatan halilintar yang seakan-akan memotret bumi dari
langit. Memuntahkan berliter-liter air kebumi, jatuh dan terbang berselancar
angin. Jutaan , milyaran bahkan triliunan rintik air meluncur ke bumi. Menyapu
pepohonan, gedung-gedung sekolah, jalan raya sampai atap rumahku, dan curangnya
mereka keroyokan !
Aku menjentikan jari, mungukur besarnya air dari
suaranya yang jatuh menimpa atap rumah. “ Segini ” dalam hati. Rahmat Illahi
yang tercurah kebumi ini membuatku terkesima menimati suasana. Dari jendela
kaca dalam kamarku aku bisa melihat semua benda diluar basah kuyup. Jalan, halaman, rumput, bahkan sendal Eni
sepupuku pun tak lagi basah, malah hanyut dibuatnya karena hujan yang begitu
deras, kasihan. Tapi aku tak mau mengambilkannya.
Air yang jatuh bersamaan, menimbulkan bunyi
yang khas, mirip dengan suara alat musik tamborine yang ada di studio musik
sekolahku. Walapun aku tak memiliki alat itu, tapi aku punya imitasinya, kaleng
Yakult yang disi beras. Yah. “Srik, srik, srik” .
“Ahh kawe 15 mungkin”.
Suasana rileks akibat gemericik air dan hawa
dingin mampu membius semua orang hingga terlelap. Terlebih lagi Ida adiku,
jangankan musim penghujan, menghirup bau bantal saja sudah terbius dia.
Namun dibalik jendela kaca ini ditemani hujan
syahdu, lamunan ku terbang kemasa sekolah dasar dulu. Dan disinilah kisah ku
dimulai.
-#*#-
Saat itu sedang hujan juga, sayang aku tak
membawa payung jadi terpaksa aku harus menunggunya reda di teras depan kelasku.
Hingga suatu ketika saat tak ada aktifitas dalam penantian reda itu selain
menengadahkan tangan menangkap air dari atap teras, aku mendengar suara. Ya nyanyian
jawa yang merdu sekali dari kelas dibelakang ku. Aku mendekat lalu berusaha
mengintip dari jendela, tapi karna aku pendek jadi aku tak dapat melihatnya. Dengan
kesusahan aku berjinjit, melongok mencari tahu siapakah gerangan wahai pemilik
suara yang merdu. Andai pintu kelas itu terbuka tentu aku dengan cepat
mengetahui siapa dia. Tak perlulah aku begini.
Belum
sempat aku tahu, dari kejauhan terlihat kakaku datang menjemputku dengan
membawa payung. “Mungkin besok aku bisa mencari tahu lagi disini”. Kataku dalam
hati. Ya, mengintip !
Saat itu aku duduk dibangku sekolah dasar
kelas III. Jika kau tahu sekolahku itu sangat nyaman untuk belajar. Letaknya
yang nyaris ditengah sawah membuatnya damai dan sepi. Ditambah lagi dibelakang
sekolahku terdapat hutan kecil tempat burung-burung Prenjak bersarang. Belajar
disini sangat tenang, jika pagi hari burung-burung prenjak itu berkicau, menemani
kami mendengarkan kicauan guru kami juga. Eh?
Esok harinya, setelah bel sekolah berbunyi aku
kembali ke kelas itu. Mencari tahu lagi siapa dia dan apa yang mereka
rencanakan. Kali ini aku tak mengintip dari jendela, aku melihatnya dari pintu
yang sedikit terbuka. Perlahan-lahan dan mengendap-endap. Mirip maling!
Sialnya, tak sengaja pintu itu terdorong saat
aku menggaruk pantatku. Dan “ Teguh, sini masuk “. Kata seorang perempuan yang
aku tahu dia adalah guruku, Bu Sudarni. Kami biasa memanggilnya bu Darni. Dia
tersenyum. Duduk juga disana Dhendy dan
Yola dengan beberapa lembar kertas ditangannya. Tertulis dipapan hitam dengan
kapur sebuah tulisan “Macapat” . Dan semua rasa penasaran ini terjawab
sudah. Bahwa suara itu adalah suara Bu Darni, dan lagu yang ia nyanyikan adalah
tembang macapat, yang belum pernah aku tahu sebelumnya. Tapi apa yang dilakukan
Dhendy dan Yola disini ? aku tak tahu
Kaget,
malu dan shock semuanya bercampur menjadi satu, aku hanya bisa senyam-senyum
sambil menggaruk-garuk pantal ku yang gatal. Dengan terpaksa aku masuk kekelas
itu.
“Teguh, sekolah kita akan mengikuti lomba macapat
dan selama beberapa hari ini kita latihan disiini. Hari ini silahkan kamu
dengarkan dan pelajari apa yang Ibu dan teman-temanmu nyanyikan, ibu dengar
suaramu bagus”
Mereka
melanjutkan latihannya, lagu yang mereka bawakan adalah tembang Dhandhanggula,
Sinom dan Pocung. Terasa asing sekali, karena memang bru pertama kali
mendengarnya. Sesekali mulutku mencoba mengikuti irama dan syair tembang itu,
namun lagi-lagi aku salah.
Dua
jam sudah, aku duduk disana tak jua aku bisa tembang-tembang asing itu. Dan
pukul 3 tepat latihan selesai. Namun ada satu hal yang aku tahu, bahwa ternyata
Dhendy tak cukup mampu menguasai nada-nada tembang itu. Banyak sekali nada fals
yang ia nyanyikan.
“Gimana Guh, macapatnya ,? Dhendy
mengawali.
“Susah Dhen,” keluhku
“Memang banyak cengkok-cengko jawa yang harus
kamu kuasai, dan disitu letak ciri khas dari tembang macapat ini” Yola
menimpali.
Kami
berpisah didepan gerbang pintu sekolah, Yola bersama Bu Darni ibunya sendiri .
Menyisakan aku dan Dhendy yang memang kebetulan searah. Sore itu benar-benar
indah aku seperti menemukan dunia ku.
Dhendy memboncengku dibelakang, aku berdiri
dan ku rengggangkan tanganku horizontal. Hempasan angin ini benar-benar syahdu,
se-syahdu rintik hujan yang juga turun sore ini.
0 komentar:
Posting Komentar