00.08
        
       Fajar telah menyingsing. Cahaya keemasannya menyebar kepermukaan bumi. Sinar yang jatuh miring ke tanah, disambut kabut putih tipis menyelimuti desa. Menembus setiap celah daun di pepohonan. Menampilkan panorama cahaya yang elok. Garis-garis panjang keemasan, seakan menerawang setiap sisi desa.
        Terdengar derai langkah kaki pagi itu. Telapak kaki mungil, beradu melawan basahnya rumput tersiram embun pagi. Menimbulkan bunyi yang khas ditengah hamparan hijaunya padi. Nampak Lestari berjalan menyusuri pematang sawah tanpa alas kaki. Berpacu dengan waktu, dikepalanya sebuah bakul tersunggi.
Tangan kiri menjinjing sandal, tangan kanan memegang pinggiran bakul. Menjaga supaya tak bergeser dari kepalanya. Sementara kaki mungil itu, berusaha menjaga keseimbangan diatas licinnya pematang sawah. Berat, begitu yang ia rasakan. Bakul bambu yang tertutup rapi oleh kain putih bergaris hijau itu,  penuh terisi kue moho.
      Dari wajahnya, tampak raut muka orang yang penuh ketegaran. Ya, muka orang-orang dengan penderitaan hidup. Tersimpan kesedihan, kekurangan dan kesulitan didadanya yang ia lebur menjadi satu dalam sebuah kesabaran. Seakan menumbuk hati Lestari sehingga lembut teksturnya. Tak heran kalau ia lebih mudah melihat sesuatu dengan hati.
Berhenti sejenak ia dipondok bambu, membetulkan posisi bakul yang mulai merosot dari kepalanya itu. Sembari mengelap keringat yang mengalir melalui pelipis kanannya, dengan selendang yang menggantung di leher. Sesekali membuang nafas.
         Biasanya dipondok itu, ia bertemu beberapa petani yang hendak pergi kesawah. Menunggu Lestari lewat, ingin membeli dagangannya. Namun kini dilihatnya pondok itu kosong. Belum rejeki, begitu hatinya berkata. Lestari melanjutkan perjalanannya. Pagi-pagi sekali ia berangkat kepasar krempyeng diseberang desa. Berharap sedikit rejeki dari hasil penjualan kue moho buatannya. Untuk menyambung hidup, sekaligus membantu ekonomi keluarga yang tak tentu arah.
Setibanya di pasar, ia menurunkan bakul dari kepalanya. Jangankan lapak, meja tempat menaruh barang dagangannya pun tak ada. Yang ada hanya dingklik buatan Puji suaminya. Tempat ia duduk menunggu para pelanggan.

     Berlutut Lestari meletakan bakul itu. Tampak tangannya gemetaran. Kosong perutnya tak sempat sarapan. Dibukanya penutup bakul perlahan, lalu mengambil satu kue moho hangat untuk mengganjal perut yang kelaparan. Tak berapa lama, beberapa pelanggan menghampirinya.
“ Gasik yo yu, Aku minta kue mohonya 5 ya, pilih yang masih anget lho. ini uangnya.” pinta seorang pembeli.
“Kalo aku biasa Yu 10 wae, mau tak bawain anaku jalan-jalan ke Mesjid Agung. Sampeyan mau beli ndak Bu Barjo, nanti sekaliyan tak bayarin? “
“Iyo, sekalian itu digabung sama punya mu jeng Rumi,5 saja. Masjid Agung tu mana to mbak Tari? ” tanya bu Barjo pada Lestari.
“ Itu lho bu deket alun-alun. Kauman kauman. Ada bedug gedhe, terbesar didunia kabarnya. Ini bu, semuanya jadi lima ribu lima ratus.” jawab Lestari sambil menyodorkan kue moho.
“ Oh, gitu to. Wah, aku lho suka yang gedhe-gedhe “ . Tersenyum sambil menepuk lengan jeng Rumi.
“Opo to bu, pagi-pagi kok sudah ngomong yang gedhe-gedhe. Ya sudah ah, ini mbak Tari uangnya. makasih ya” Berlalu pergi meninggalkan Lestari.
“Alhamdulillah penglaris”Ucap Lestari sambil menepukan uang ke dagangannya

       Matahari mulai meninggi. Dagangannya pun cukup laku pagi itu. Uang yang didapatnya dirasa cukup untuk membeli sedikit beras dan memberi uang saku anaknya. Ia pun memutuskan untuk pulang sejenak. Bakul berisi sisa dagangannya, ia titipkan terlebih dahulu pada penjual lain disebelah yang sudah lama ia kenal. Berharap ada yang membeli saat ia pulang nanti.
“Eh mbak Tari, sudah mau pulang saja” tanya penjual gethuk..
“Iya, kasihan anak saya nungguin, belum tak kasih uang jajan soalnya. Titip ya bu“ . Lestari meninggalkan dagangannya.
      Waktu menunjukan pukul tujuh kurang lima menit di dinding bambu itu.Yuli dan Redi anaknya menanti penuh harap kedatangan sang bunda di rumah. Kakak beradik itu menunggu uang saku yang bunda dapat dari hasil menjual kue moho dipasar. Berdiri didepan pintu menatap cemas ke arah jalan.
 “Mamak mana sih mbak, kok belum pulang-pulang. Belnya bentar lagi bunyi lo? “ Cemberut wajah Redi.
“ Sabar dik, sebentar lagi. Mungkin mamak sedang dijalan” Yuli berusaha menenangkan adiknya.
.
      Puji sang suami yang hendak pergi kesawah, menitipkan Dewi di rumah neneknya yang kala itu masih bayi. Tertidur pulas, dibalik hangat bedongan jarit batik mahar pernikahnnya.
Sementara di perjalanan, Lestari dengan cepat mengayuh sepeda kumbang yang ia pinjam dari Koh Acong juragan daging.
        Udara pagi menerpa wajah Lestari. Terurai rambutnya kebelakang terhempas angin. Kaki mungil yang tak sampai menapak ke pedal, ia paksakan untuk tetap mengayuh sepeda itu. Sehingga nampak lucu saat ia mengendarainya.
Kaki kanan mendorong pedal, sementara kaki kiri menggantung menunggu pedal yang masih berputar. Sesekali, ia juga berdiri sambil memacu sepedanya, meninggalkan sadel empuk berlapis kulit itu. Pegal, itu yang ia rasakan.
“Kriyet, kriyet, kriyet”
Sedel itu berbunyi saat lestari mengayuh sepedanya.
      Di tengah penantian yang penuh harap. Tiba-tiba Yuli bersorak kegirangan. Tangannya menunjuk kerarah jalan. Dilihatnya sang bunda dari kejauhan, mengayuh lucu sepeda kumbang. Memecah suasana pagi itu.
“Mamak !! itu dik mamak pulang”. Yuli berteriak.
Redi yang tadi tertunduk lesu, badannya tiba-tiba tegak mendengar suara Yuli. Kaget bukan kepalang .Seperti orang mendengar suara guntur dadakan dikala hujan.
“Emhah, emhah, emhah “
Sampailah Lestari dihalaman rumah. Nampak kembang kempis dadanya mengatur nafas yang masih memburu. Belum sempat ia meletakan sepedanya, berlarian Yuli dan Redi menyambut kedatangan sang bunda. Tak sabar menerima uang saku yang ia bawa.
Penuh kelembutan ia meminta kedua anaknya untuk bersabar, sembari me-nyetandarkan sepedanya itu. Tangan kanannya mengeluarkan uang dari saku daster berwarna oranye nya. Menjulur masuk ke saku seragam Redi dan Yuli. Dibelainya rambut Redi yang ikal.
“Sekolah yang pinter. Jangan jajan yang macam-macam nak” kata Lestari
 Setelah menerima uang saku masing-masing, diciumlah tangan Lestari, diikuti salam lalu bergegas berangkat ke sekolah.
          Dipandanginya kedua anak itu berangkat, nampak bersemangat pergi kesekolah. Hati Lestari luluh tak kuasa menahan haru. Diusapnya air mata yang mengalir dipipi. Dalam hati ia berharap agar esok dapat terulang kembali, memberi uang saku untuk anaknya.
       Lestari, pantang menyerah demi menghidupi anaknya. Hatinya kuat sekuat baja, namun lembut selembut arumanis. Langkahnya anggun meretas gundah, seanggun sepeda kumbang.

0 komentar:

Posting Komentar