https://www.30menit.com/wp-content/uploads/2013/05/Jalan-Hidup.jpg
Malam terasa beku. Hawa dingin seakan merasuk, menghujam
sampai ketulang. Musim kemarau dibulan Mei, benar-benar membuat
setiap malam seolah berada dikutub utara.
Namun berbeda dengan suasana keluarga Lestari. Dibalik
dinding anyaman bambu, Lestari dan anak-anaknya berkumpul menunggu
Puji di pawon. Sembari mengukus kue moho dengan panci besar diatas tungku kayu
bakar. Menghangatkan diri.
Ditemani alas tikar dan obat nyamuk berwarna hijau spiral
dengan asap yang meliuk-liuk, seakan mencambuk setiap nyamuk yang mendekat. Tak
jarang asap itu membuat orang terbatuk-batuk didekatnya.
Ya, memang nyamuk desa tak mempan diobati. Bahkan sudah
kebal. Redi yang sedari tadi asik bermain bayangan didekat tungku, seolah
mengibarkan bendera perang pada nyamuk-nyamuk itu. Siap siaga layaknya Densus 88 hendak menyergap teroris.
Sungguh, ia tak tahan dengan nyamuk-nyamuk itu. Tak ada ampun! Sekuat tenaga ia menepuk kalau-kalau ada nyamuk
yang hinggap ditubuhnya.
“Plak”. Redi menepuk penuh keyakinan. Tangannya masih
menempel dipahanya. Dibuka telapak tangan itu perlahan-lahan. Mengintip kecil
dibalik tangannya yang mungil.
Sayang nyamuk itu menghindar, yang tersisa hanya bekas
merah di pahanya dan rasa panas yang membuat ia meringis.
“Aduh ”. Redi
menggerutu.
Berbeda dengan Yuli, ia sibuk membantu mamaknya menata
kue moho di nampan besar.
“Oh iya nduk, itu kue yang dimeja depan sudah dibungkusin ya, tinggal dibawa saja” ujar Lestari pada Yuli.
“Iya mak, besok banyak siswa yang olah raga juga lo, jadi
mending ditambahin aja mak” jawab Yuli.
“Ealah, anak mamak sudah pinter ”.
Lestari berlalu menuju ke dapur.
Hatinya
kalut, sedih memikirkan masa depan anaknya itu. Diantara teman-temannya hanya
Yuli yang paling miskin. Masa kanak-kanak yang seharusnya ia gunakan untuk
bermain bersama teman sebayanya disekolah, hilang untuk berjualan kue. Saat
teman-temannya asik berkejaran dihalaman sekolah saat istirahat. Yuli rela duduk
menunggu pelanggan didepan nampan berisi kue moho.
Ia
masih duduk dikelas lima sekolah dasar. Namun pikirannya bak anak seusia kelas
dua sekolah menengah. Ia jarang mengeluh tentang apa yang dialaminya. Seolah ia
paham dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan.
Sepatu
yang dipakainya adalah sepatu yang sudah ia pakai sejak kelas tiga sekolah
dasar. Pun bagian tumit sepatunya telah berlubang, sehingga saat hujan, air
bebas masuk menembus kaus kakinya. Tak jarang ketika musim hujan tiba ia sering
masuk angin.
Tak
tega ia meminta pada mamak dan bapaknya. Karna ia tahu mereka tak punya cukup
uang untuk membeli sepatu baru. Seandainya bisa, pastilah Lestari meminjam
untuk membelikannya, tentu ini hanya menjadi beban.
Mengingatkan
Lestari pada masa-masa sekolahnya dahulu. Seperti biasanya setelah bel sekolah
berdentang murid-murid berhamburan keluar kelas. Tak seperti biasanya ia kini
langsung pulang kerumah. Ia berjalan bersama teman-temannya yang kebetulan
searah. Sampai dipertigaan pasar mereka berpisah. Meninggalkan Lestari seorang
diri. Melangkah menuju lorong pasar yang penuh sesak para pedagang dan pembeli
.
Ketika
ia melewati kios baju, tampak seorang lelaki berbadan tegap memperhatikannya.
Wajahnya tak jelas karna tertutup bayang-bayang baju yang menggantung
disampingnya. Lalu laki-laki itu berdiri dan mendekati Lestari. Merasa takut,
Lestari mempercepat langkahnya. Lalu ia menoleh kebelakang, ternyata laki-laki
itu membuntutinya. Lestari berlari sekencang-kencangnya, takut kalau-kalau ia
diculik lalu dijadikan wanita jalang di kota besar. Berbagai pikiran negatif
memenuhi benak Lestari. Curiga !
“
Hey, tunggu nak !”. Lelaki itu mengacungkan tangannya.
Tunggu
!
Saling
berkejaran diantara lalu lalang warga pasar yang sibuk dengan urusannya.
Lestari
berbelok dari arah yang biasa ia lewati, berputar melewati kios pedagang sayur.
Menumpahkan
tumpukan kardus untuk menghalau laju lelaki itu. Dan terus saja berlari.
Kencang !!
Menoleh
lagi kebelakang melihat apakah laki-laki itu masih mengejarnya.
Malang Lestari,
ia tak melihat ada kuli pasar yang menyunggi kapas didepannya. Tabrakan pun tak
terhindarkan. “ Brukk “
Ia
terjatuh bersama kapas-kapas yang berterbangan disekelilingnya.
Lestari
tersungkur dilantai.
“ Kena kau sekarang, ayo ikut saya !”
“Lepas
!”. Lestari berontak.
Dibawa
Lestari kekios baju tempat ia melihat lelaki tadi.
“Kamu
Lestari kan, kamu tahu baju seragam mu ini? Ini Belum lunas ! bilang sama ibumu
untuk segera melunasinya kalau nggak mau kejar-kejaran lagi.” Laki-laki itu menggerutu.
Tak
tahu harus menjawab apa, ia hanya menundukan wajahnya. Seketika itu pula tumpah
air mata Lestari.
“Ya
sudah, pulang sana, Jangan lupa bilang sama ibu mu, suruh bayar !”.
Lestari
berlalu meninggalkan tempat itu.
Sungguh
ia tak mau Yuli mengalami apa yang telah ia alami dimasa lalu. Lebih baik ia
bersabar kalau-kalau ada uang lebih mampir.
Yuli
adalah semangat bagi Lestari, darinya ia menemukan kekuatan untuk tetap
berjuang. Untuk tetap melanjutkan hidup, karena Yuli adalah harapan bagi
keluarga miskin ini. “Apapun yang terjadi, kau harus tetap sekolah nak “ Begitu
hatinya berucap.
Tak
berapa lama, Puji datang dari pintu belakang. Membawa sesuatu yang terbungkus
plastik hitam.
“Bapak
pulang !” Teriak redi.
Rejeki
! Puji datang membawa berkat berisi
nasi dan bermacam lauk-pauk.
“Bapak
baru saja kenduri dari rumah Pak Barjo, anaknya mau menikah bu. Ini ada berkat”.
“Alhamdulillah
, kebetulan nasi dimeja juga sudah habis pak”.
Malam
itu sungguh istimewa. Makan malam yang biasanya hanya nasi dan beberapa tempe yang dipotong kecil-kecil,
berubah menjadi hidangan khas prasmanan bak acara resepsi perkawinan.
Dalam tradisi Jawa, setiap keluarga yang mempunyai hajat seperti pernikahan,
selamatan bayi, bahkan memperingati hari kematian anggota keluarganya
sekalipun, tak pernah luput dengan kenduri[1].
Sebuah acara yang selalu ditunggu-tunggu Lestari.
Berkat yang berisi, 1 telur ayam rebus, kluban, mi, satu
paham ayam dan 3 centong nasi, dibagi-bagikan Lestari untuk suami dan kedua
anaknya.
“Alhamdulillah”
Sambil mengambilkan nasi untuk Puji suaminya.
“ Pak, Yuli
sudah pandai berjualan”
“ Ya, iya to yo, anak siapa dulu, memang kalau
sudah biasa jualan itu kita jadi ngerti kapan bawa dagangan banyak kapan bawa
dagangan sedikit. Tapi wong jualan itu kadang juga nggak mesti, bisa saja
sebaliknya. Jadi harus sabar dan ikhlas nduk ”. Ucap Puji .
“ Tuh, didengerin kata bapak, kita itu mesti sabar dan ikhlas nduk. Tapi nggak cuma saat jualan saja, dalam menjalani hidup ini kita juga harus
begitu nduk. Banyak orang-orang yang tidak sabar dengan kemiskinan, sampai-sampai mereka nekat melakukan tindakan yang dilarang agama
seperti meminta pada kuburan, pohon, sumur. Belum lagi ada yang mencuri ”. Ujar Lestari
“Haduh, aku belum ngerti mak”. sahut Yuli
“Kalau orang sudah gelap mata, tidak sabar, tidak ikhlas dalam menjalani hidup.
Maunya cepet kaya tanpa usaha, pikirannya jadi tidak waras. Akibatnya kuburan
pun dimintai doa. Allah sudah mereka dua kan. Padahal kalau kita bersabar,
menerima dengan ikhlas dan bersyukur apa
yang telah diberikan oleh Allah. Pasti Allah akan menambah rezeki kita.
Tentunya dikuti dengan usaha dan do’a
nduk.
Yowis, ayo pada dimakan, jangan lupa berdoa” Ujar Lestari.
Dalam
hidup ini, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Manusia hanya bisa merencanakan, tapi Allah yang menentukan.
Benar, hidup itu misteri. Terkadang berada diatas namun sering pula terjatuh
dan memulainya dari bawah. Saat dibawah tak luput dari ujian dan cobaan,
apalagi saat diatas. Ibarat badai, topan, angin ribut bahkan tsunami pun
menghadang menguji keimanan dan kesabaran. Hanya saja dalam menghadapi ujian itu, ada dua pilihan. Memilih untuk menjadi orang waras atau tidak waras dalam menyikapinya. Ya, Setiap orang berhak memilih.
Semua itu atas kehendak Sang Pencipta, tentu tak ada yang mampu mengelak.
Begitu juga Lestari. Terus berjuang, tak tahu apa yang akan ia hadapi esok. Sabar dan tawakal.
(Merupakan kisah lanjutan dari cerpen sebelumnya dengan judul
“Sepeda Kumbang “)
>> Tunggu kisah-kisah menarik selanjutnya ya,
Jangan lupa kritik dan sarannya aku tunggu juga loh Kawan.
Terima kasih :D
0 komentar:
Posting Komentar